Selasa, 05 Agustus 2014

Mencari Keperawanan Pantai Pasir Perawan

Pantai Pasir (yang masih) Perawan
Liburan lebaran selalu gue manfaatkan untuk bersilaturahmi dengan keluarga besar dan juga menjelajah tempat baru. Liburan lebaran tahun lalu gue sempat berkunjung ke Kepulauan Seribu untuk refreshing. Tahun lalu gue pergi ke Pulau Pramuka, Pulau Panggang, dan Pulau Opak Besar bersama 3 teman dari Jepang. Yang mau baca cerita gue waktu itu, silakan baca DI SINI.

Untuk liburan kali ini, gue cuma pergi berdua bersama si Zen, travel mate gue. Kami berencana untuk menuju ke Pulau Pramuka. Tapi sebelum berangkat, ada permasalahan yang menghambat kami, yaitu tenda. Di Jakarta, cukup sulit untuk menemukan tempat persewaan tenda. Sekalinya ada, semua sudah full booked. Ada sih teman yang punya tenda, tapi susah dihubungin. Jadilah kami sepakat untuk pergi tanpa membawa tenda. Lagipula cuma berdua, jadi flexible bisa bermalam dimana saja. Alhasil kami hanya membawa satu sleeping bag dan 2 sarung. Ngenes.

Kamis, 31 Juli 2014 berangkatlah kami menuju Pelabuhan Muara Angke. Jarak rumah gue ke pelabuhan gak jauh, hanya sekitar 20 menit menggunakan motor, jadi berangkat pun bisa santai. Kami berangkat sekitar pukul 06.00. Ternyata pengunjung yang mau berwisata ke Kepulauan Seribu cukup banyak. Dapat dilihat dari banyaknya kendaraan yang mengantri di gerbang pelabuhan untuk masuk. Sesampainya di dermaga, kami langsung mencari kapal yang menuju Pulau Pramuka. Sialnya, kapal yang menuju pulau itu sudah angkat jangkar. Sebenernya masih bisa sih naik, tapi harus lompat ala-ala parkour dulu. Tapi yaaa kami gak mau pamer lah. Jadinya kami mencari kapal lainnya. Masih ada 1 kapal tujuan Pulau Pramuka, tapi sialnya lagi kapal itu sudah di booked oleh rombongan dari travel agent. Kapal yang masih tersisa adalah kapal tujuan Pulau Pari, Pulau Harapan, dan Pulau Tidung. Sepertinya kami tertarik dengan Pulau Pari, alhasil kami pun mengganti tujuan ke Pulau Pari. Unexpected

Oia, sebagian besar wisatawan di sini pergi dengan menggunakan travel agent. Buat gue, gak perlu yang begituan. Kita bisa kok pergi sendiri dengan uang seadanya dan malah bisa bebas gak terkekang oleh jadwal yang dibuat.

Perjalanan dari Muara Angke ke Pulau Pari ditempuh dalam waktu 2 jam. Gue orangnya masih agak gampang untuk pusing naik kendaraan laut. Pusing ini bisa ditangkal dengan kehadiran AC alami. Jadilah gue selama perjalanan duduk diatas dek kapal sambil menikmati pemandangan sekitar.

2 jam sudah ditempuh, sampailah kami ke tujuan, yaitu Pulau Pari. Sebelum menjelajah pulau, kami terlebih dahulu mengisi perut di sebuah warung tradisional. Warung-warung di sana, sebagian besar hanya menjual mie rebus dan mie goreng untuk hidangan berat. Jadi, saran gue sih jangan lupa bawa bekal sendiri kalau gak mau makan mie terus.

Warung tradisional di Pulau Pari
Pulau Pari mempunyai pantai andalan untuk menarik wisatawan berkunjung ke sana, adalah Pantai Pasir Perawan. Menurut info yang gue baca, pantai itu lumayan ramai dan sudah tidak seperti namanya, alias sudah tidak perawan. Gue pun mencoba untuk membuktikannya. Selesai makan, kami langsung menyusuri jalan-jalan yang ada di pulau ini dan mengakhirinya di Pantai Pasir Perawan. Buat teman-teman yang ingin menjelajah pulau ini, jangan takut tersesat. Jalan besar di pulau ini hanya ada 1 jalan yang membentang dari timur pulau ke barat pulau. Ini berbeda dengan Pulau Pramuka yang terdapat banyak gang/jalan. Pantai Pasir Perawan terletak di sebelah timur Pulau Pari.

Masuk ke Pantai Pasir Perawan, dikenakan biaya retribusi sebesar Rp.3.500. Jika ingin bermalam di sana menggunakan tenda sendiri, dikenakan biaya Rp.10.000 untuk satu tenda. Biaya ini digunakan untuk keamanan dan kebersihan pantai. Di pantai juga terdapat jasa penyewaan tenda, tapi cukup mahal. Kita harus merogoh kocek Rp.80.000 - Rp.150.000 untuk tenda 4 orang. Gue memutuskan untuk tidak menyewanya.

Susur pantai, mencari spot terbaik untuk bersantai
Memang setelah kami melihat lokasi dengan mata kepala kami sendiri. Pantai tersebut cukup ramai dan tidak kondusif untuk bisa dinikmati secara pribadi. Jadi kami memutuskan untuk menyusur pantai lebih ke timur lagi untuk mencari tempat yang kami mau. Dan ternyata banyak spot kosong untuk digunakan bersantai! Jarang ditemukan wisatawan yang singgah di sepanjang garis Pantai Pasir Perawan sebelah timur. Mungkin hanya sebagian orang saja. Akhirnya kami memutuskan untuk menggelar sleeping bag yang kami bawa dan merebahkan diri di sana. Waaaaah nikmat tiada tara. Tiduran di bawah pohon rindang di bibir pantai kosong sambil membaca buku dan mendengarkan musik dari mp3 yang menyatu dengan suara ombak dan angin itu adalah kombinasi yang sempurna versi gue.
Enjooooy
Ada suatu hal yang bikin gue miris. Di sepanjang pantai pasti ada sampah yang bertebaran. Sampah-sampah ini berasal dari Jakarta. Miris bukan? Tempat seindah ini harus menerima kiriman sampah dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Momen hari ini sangat mengajarkan gue bagaimana kita harus menghargai alam. Alam yang dibuat oleh Tuhan sangatlah indah dan memberikan kenikmatan untuk kita, manusia. Nah, seharusnya kita harus menjaga alam tersebut agar saling berkesinambungan. Jadi tolong buat teman-teman yang bepergian kemanapun, janganlah buang sampah sekecil apapun di tempat yang kita kunjungi. Simpanlah sampah itu sampai kita menemukan tempat sampah. Masa iya, kita menikmati suatu makanan, sedangkan orang lain harus menderita karena bungkus makanan yang kita buang sembarangan.

***

Matahari berganti dengan bulan, kami membuka masing-masing bekal yang sudah kami bawa untuk makan malam. Setelah makan, kami kembali susur pulau untuk menemukan tempat yang cocok untuk digunakan bermalam. Sesekali kami mampir di sebuah masjid untuk melaksanakan ibadah sholat. Terdapat sekitar 4 musholah atau masjid yang gue temui di pulau ini.

Kami susur pulau dari timur ke barat pulau. Akhirnya kami menemukan tempat untuk bermalam di Pantai Kresek, pantai sebelah barat Pulau Pari. Di sana terdapat beberapa warung. Terdapat bale-bale bambu di setiap warung. Dengan izin dari pemilik warung, alhasil kami bisa bermalam di sana.
Bale tempat kami bermalam, not so bad
Jumat, 1 Agustus 2014. Pagi pertama di bulan Agustus kami lewati di pulau ini. Sungguh menyenangkan. Agenda hari kedua yang juga hari terakhir kami di sini adalah berenang! Yeay!! Kami memutuskan untuk berenang di lokasi kemarin kami bersantai. Sebelum menuju lokasi, terlebih dahulu kami menuju dermaga untuk menanyakan kapal yang akan berangkat menuju Muara Angke, Jakarta.

Sesampainya kami di dermaga, terlihat 2 kelompok wisatawan yang bertikai memperebutkan tiket kapal cepat (speedboat). Usut punya usut ternyata salah satu dari kelompok tersebut menyerobot antrean. Hufttt masih ada aja orang yang gak punya moral kayak gitu. Bukannya refreshing malah jadinya membuat masalah sekonyol itu.

Setelah gue bertanya ke petugas di dermaga. Kapal dari Pulau Pari ke Muara Angke akan berangkat pukul 08.00, 11.00, dan 13.00 setiap harinya (terkecuali hari Jumat, tidak ada kapal yang berangkat pukul 13.00).

Okay, berarti kami harus kembali ke dermaga pukul 10.00 untuk membeli tiket. Waktu di jam baru menunjukkan pukul 08.00, jadi kami mempunyai waktu 2 jam untuk (kembali) bersenang-senang di Pantai Pasir Perawan (yang akhirnya gue temukan arti dari 'perawan' itu).

Ternyata kami tidak bisa berenang di tempat tersebut, karena dari garis pantai sampai sekitar 100 meter ke arah laut, masih terlalu dangkal untuk bisa berenang. Air hanya sebatas betis orang dewasa. Jadilah kami hanya berendam dengan ditemani suara angin sepoi-sepoi.
Hupppp! 
Wohoo 2 jam berlalu tanpa terasa. Waktunya kami harus kembali ke dermaga untuk kembali ke Muara Angke. Sesampainya kami di dermaga, ternyata kapal sudah penuh. Beruntungnya kami masih mendapatkan tiket. Padahal waktu baru menunjukkan pukul 10.00. Hasilnya kapal berangkat pukul 10.30 dari yang direncakanan pukul 11.00.

Haduh emang gak enak ya kalo masih mabok laut (hanya pusing lebih tepatnya). Gue dan juga Zen kembali harus duduk di luar kapal demi mendapatkan hembusan angin untuk menghilangkan rasa pusing. Sialnya adalah matahari sedang ada tepat di atas kita, jadi bisa dibayangkan, kami seperti ikan asin yang sedang dijemur. Tak apalah, gue lebih memilih berjemuir daripada pusing dan gerah di dalam kapal.

Yaaaak. Begitulah pengalaman gue di Pulau Pari. Kita bisa menciptakan pengalaman kita sendiri di sebuah perjalanan. Jadi, jangan malas untuk eksplor sendiri tempat yang kalian kunjungi demi mendapatkan kenyamanan dan kenikmatan itu. Tuhan menciptakan alam yang sebegitu indahnya, selanjutnya semua diserahkan kepada kita untuk bisa menikmati keindahan tersebut tanpa harus merusak alam.

1 komentar:

  1. wahh pantainya jarang di datangi wisata wan tha, enak sekali ya bersantai disana dengan tenang.. hehe

    BalasHapus