Sabtu, 26 September 2015

Menjelajah Pasar Baru yang Penuh Cerita

“Pada tahun 1800an, Belanda memindahkan ibukota Batavia (sekarang Kota Tua) ke Welterfreden (sekarang Juanda) karena pada masa tersebut di Batavia terdapat wabah penyakit  dan pendangkalan kanal yang berpotensi akan terjadi banjir, ...“, dengan semangatnya mas Canda (pemandu) bercerita. Tunggu, tunggu sebentar. Kayaknya gue belum pernah menemukan atau mendengar tentang fakta ini di buku sejarah dari SD-SMA, deh.
Briefing sebelum Walking Tour dimulai
Siang menjelang sore ini, kami yang menyebut diri kami Traveler Blogger, mengikuti kegiatan Jakarta Walking Tour yang diorganisir oleh Jakarta Good Guide dalam acara TravelNBlog #4. Ya, Jakarta Walking Tour. Terdengar asing memang terdapat Walking Tour di Jakarta yang memang terkenal dengan panas teriknya dan macetnya. Tapi kami, tetap semangat dalam mengikuti kegiatan ini. Karena kegiatan Jakarta Walking Tour memang baru eksis akhir-akhir ini dengan Jakarta Good Guide sebagai inisiator. Pada Jakarta Walking Tour kali ini, kami mengeksplor kawasan Pasar Baru yang terletak di Jakarta Pusat.

Suasana di depan Pasar Baru, terlihat banyak angkutan umum menunggu penumpang
Mungkin Pasar Baru cukup terkenal ya bagi masyarakat khususnya masyarakat Jakarta. Tapi apa teman-teman tau tentang asal-usul nama Pasar Baru? Well, terdapat dua sumber yang berbeda tentang asal usul penamaan Pasar Baru. Sumber pertama mengatakan bahwa nama Pasar Baru merupakan salah penyebutan oleh warga dari Passerburg menjadi Pasar Baru. Sedangkan sumber kedua mengatakan bahwa nama Pasar Baru dipilih karena pasar ini merupakan pasar yang paling muda dibandingkan pasar-pasar lama  lainnya yang sudah eksis terlebih dahulu, seperti Tanah Abang, Pasar Senen, dll. Jadi penyebutan Pasar Baru digunakan untuk membedakan dari pasar-pasar lama. Lebih masuk akal mana ya kira-kira?

Walking Tour ke Pasar Baru ini dimulai dari Stasiun Juanda. Pemandu kami, mas Canda (orangnya asik suka bercanda kayak namanya haha) menceritakan bahwa dulunya Juanda bernama Welterfreden merupakan kawasan perumahan yang dihuni oleh orang-orang kaya pada saat itu. Jadi muncul istilah Richwijt untuk nama lain dari Welterfreden. Richwijt berarti lokasi orang-orang kaya dalam bahasa Indonesia. Gue juga baru tahu banget ini, bahwa ibukota Belanda yaitu Batavia pernah dipindah ke Welterfreden karena beberapa faktor.

Dari Stasiun Juanda, lalu kami berjalan ke arah timur menuju Sekolah Santa Ursula.  “Dahulunya sekolah ini hanyalah sebuah kapel. Lalu, Belanda yang pada masa penjajahannya  menyebarkan agama kristen, mendatangkan 7 susteran. Nah, suster-suster ini  yang menginisiasi terbentuknya sekolah perempuan, yang sekarang bernama Sekolah SantaUrsula.“, jelas mas Canda dengan menggebu-gebu.

Lanjut jalan lagi... Lalu kami berhenti di sebuah bangunan khas Belanda yang mirip dengan Stasiun Jakarta Kota. Versi mininya gitu, deh. Ternyata nama gedung ini adalah Gedung Filateli Jakarta yang dibangun pada tahun 1860an. Awalnya gedung ini digunakan Belanda untuk kantor post dan telegram sebagai alat komunikasi pada masa itu. Sejak Indonesia berhasil merebut kemerdekaan, gedung ini kemudian berubah fungsi menjadi museum perangko Jakarta. Buat teman-teman yang suka ngumpulin perangko, harus banget mengunjungi tempat ini. Ini adalah surga kalian mwehehe.
Gedung Filateli Jakarta, surganya para pecinta perangko

Lalu ada salah satu peserta tour bertanya kepada mas Canda, “Mas, itu sungai yang di depan sudah ada pada masa Belanda?“. Mas canda lalu menjawab dengan segera, “Mas ganteng, jadi…..eh maaf keceplosan.” Dialog yang ini bohong deng haha. “Jadi ya mas, ini adalah kanal, bukan sungai. Sungai terbentuk secara alami, sedangkan kanal merupakan buatan. Benar, bahwa kanal ini dibangun oleh Belanda untuk jalur transportasi pada masa itu”. Peserta lainnya terkagu-kagum, “Wuoow keren...“. Andaikan saja, kanal ini masih berfungsi sebagai jalur transportasi sampai sekarang, pasti Jakarta terlihat eksotis ya, hmm...

Kami masih dengan perasaan kagum melanjutkan perjalanan ke Gedung Kesenian Jakarta. Ternyata GKJ ini banyak merubah nama. Pada tahun 1809, gedung ini bernama Mini Simple Theater yang pada waktu itu masih beratapkan rumbia.  Lalu, berganti nama lagi menjadi Showburg. Kemudian setelah Jepang mengambil alih kekuasaan pada tahun 1943, menggunakan gedung ini sebagai markas angkatan darat mereka, sehingga banyak terjadi kerusakan gedung bahkan kehilangan patung-patung di dalam gedung. Sayang banget, ya. Tapi setelah Jepang pergi, gedung ini kembali dijadikan gedung pertunjukan dengan nama Gedung Kesenian Jakarta. Setelah mas Canda selesai menjelaskan, lalu kami berfoto ria bersama-sama.... *sayangnya gue belum dapat fotonya, nanti kalau sudah dapat, gue update, cling*.
Gedung Kesenian Jakarta, cuy

Jalan terlihat lengang pada hari sabtu sekitar pukul 4 sore

Setelah puas dengan GKJ, kami menuju ke tempat utama dalam tour ini, yaitu Pasar Baru. Fakta unik lainnya tentang Pasar Baru adalah, kawasan ini dahulunya merupakan kampung orang-orang India.  Banyak yang gak tau, kan? Kalau gak percaya coba deh telusuri wilayah timur Pasar Baru, masih ada jejak-jejak peninggalan orang India yang pernah tinggal di sana. Tapi semenjak Belanda mendatangkan etnis Tionghoa dari Macau untuk menghidupkan sektor ekonomi di Batavia, peradaban India lama-lama memudar.

Di Pasar Baru ternyata banyak tempat yang baru saja gue ketahui keberadaannya, seperti Museum Antara, mantan rumah major (pemimpin etnis Tionghoa), rumah yang pernah ditinggali Nyonya Meneer, dua kuil yang masih bertahan sampai sekarang, Gereja Penil, dan toko-toko legendaris yang sudah ada sejak dahulu, contohnya Toko Kompak, Tropik, Sin Lie Seng, dll.
Museum Antara
Para peserta di Museum Antara

Kemegahan Gereja Penil
Di akhir tour kami semua tampak sumringah. Kami beruntung, bisa mendapatkan wawasan lebih tentang kota Jakarta tercinta ini. Gue teringat apa yang dikatakan mas Canda, “Dahulunya, Belanda ingin membuat Jakarta seperti kota Amsterdam dengan membuat banyak kanal dan membuat bendungan untuk menahan air laut. Tapi mereka gagal. Sekarang ini, Indonesia kembali mencoba lagi untuk mengaktifkan banyak kanal banjir dan membangun benteng besar di laut utara Jakarta. Apa kita ingin, kita gagal seperti Belanda? Tentu tidak. Mari kita dukung dan terus berdoa agar pembangunan di Jakarta dan Indonesia pada umumnya terus membaik dan mari kita rawat bersama tempat-tempat bersejarah ini, supaya kelak anak cucu kita masih bisa mengetahui sejarah-sejarah tentang Jakarta yang kita cintai. Keep traveling and keep clean! #TravelNBlog

12 komentar:

  1. Hai Alek, si manusia kribo.

    Tulisanmu informatif banget, beberapa informasi yang kamu tulis tidak saya dapatkan kemarin.
    Senang berkunjung ke Blogmu, tampilannya gak mencolok dan navigasinya keren.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hi Akbar, Indonesianholic! Terimakasih sudah mampir blog saya hehe. Mari tetap ekslor Indonesia..

      Hapus
  2. MANTAP MAS ALEX!!! LANJUTKEN!!!

    BalasHapus
  3. Aleeeek, akhirnya selesai baca tulisanmu! Informatif banget yaaa hihi. Banyak yang kelewat sama gue deh tulisannya.

    www.vericaicha.com
    sendokransel.wordpress.com
    :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Duh, tulisan lo lebih keren, Jean! Kapan2 trip bareng yukkk!

      Hapus
  4. Nice to meet you bro Alek! gara2 walking tour ini jadi tau ada toko eskrim legendaris di Pasar Baru, itu tuh yang Tropik. Trus, aku sama temen kemaren sore pulang kerja mampir ke resto Tropik itu =)))

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wuiiih langsung dijajal, terus gimana reviewnya? Enak gak?

      Hapus
  5. Aku belum perna masuk ke museum antara
    Tapi pasarbaru ini kulinernya dhasayat, banyak tempat makan kece

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aaaak di komen travel blogger terkenal... Iya bang banyak cerita yang belum semua orang tau ttg Pasar Baru.

      Hapus
  6. tulisannya detail euy, keren daya ingatnya :)

    bludstory.blogspot.co.id

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ini karena sambil nyatet pas mas Canda ngejelasin hehe

      Hapus