Minggu, 29 Mei 2016

Belajar dari Kearifan Lokal Kampung Gir Pasang

Di suatu pagi yang cerah, gue dan kawan-kawan lainnya yang tergabung dalam WAU! Project (The World Aroud Us - sebuah komunitas voluntary yang peduli akan pendidikan anak-anak dengan mengajarkan bahasa Inggris dan kepedulian lingkungan yang berbasis di Jogja) mempunyai agenda untuk mengajar anak-anak di desa-desa sekitar Gunung Merapi.

Sehari yang lalu, WAU! Project sudah mengajar anak-anak di Desa Deles, Klaten, tapi sayang gue gak bisa ikut karena ada acara lain. Kemudian, hari ini WAU! Project berencana untuk melakukan survey di sebuah perkampungan terpencil di lereng Gunung Merapi, Perkampungan Gir Pasang.

Jalur menuju Gir Pasang, membelah bukit lewati lembah
Perkampungan yang konon adalah perkampungan terpencil yang terisolasi dan tertinggi di Klaten. Dan gue bisa ikut hari ini untuk sekedar survey tempat dan keadaan anak-anak di sana, soooo excited! Kami ditemani 3 pemuda dari Desa Deles untuk menjadi guide kami selama perjalanan. Untuk menuju ke Gir Pasang dari Desa Deles, kami harus naik motor terlebih dahulu ke Dusun Ringin (dusun terdekat Kampung Gir Pasang).

Sesampainya kami di Dusun Ringin, ternyata lagi banyak banget warga yang berkumpul dan sebagian besar dari mereka mengenakan batik dan kebaya. Kita kepo dong, kemudian salah satu teman, mas Nuno yang memang aktif dan bisa berbahasa Jawa halus menanyakan ke salah satu warga. Ternyata mereka semua adalah warga Kampung Gir Pasang. Semua! Iya SEMUA. Mereka akan pergi ke acara pernikahan salah satu warga di dusun lain dengan menaiki truk. Iya truk besar, semua warga men.

Tetua adat Kampung Gir Pasang kemudian menghampiri kami dan menanyakan maksud tujuan kami. Kemudian kami menjelaskan bahwa tujuan dan maksud kami saat itu adalah untuk survey tentang anak-anak di Kampung Gir Pasang dan kemungkinan untuk mengadakan agenda belajar mengajar dengan anak-anak di sana. Dan kami disambut dengan baik oleh beliau! Katanya kami boleh berkunjung ke Kampung Gir Pasang saat itu juga walaupun tampaknya kampung akan kosong karena semua warganya pergi. Kesempatan berbincang dengan beliau juga kami manfaatkan dengan bertanya keadaan anak-anak di Kampung Gir Pasang.

Di Kampung Gir Pasang terdapat 11 anak-anak yang sudah menempuh PAUD dan SD. Untuk anak-anak yang SMP dan SMA, mereka pergi keluar kampung dan tinggal di dusun terdekat yang terdapat sekolah SMP dan SMA.

Memang, kondisi geografis Kampung Gir Pasang ini terisolasi dari kampung-kampung terdekatnya. Letaknya yang dipisah jurang dan bukit membuat perjalanan menuju Kampung Gir Pasang hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki.

Kemudian kami berpamitan dengan tetua adat dan warga di sana untuk segera menuruni bukit. Ya kami harus naik turun membelah bukit untuk menuju ke sana. Kami melewati jalur yang biasa warga lewati, untungnya jalur ini sudah dibuatkan beberapa anak tangga yang memudahkan perjalanan kami, meskipun gak semuanya ada anak tangga.

Gimana? Keren kan jalurnya?!
(Foto oleh Indra Yoga)
Sekitar 1 jam lebih kami berjalan, sampai juga kami di Kampung Gir Pasang. Keadaan kampung saat itu sunyi sepi, asri, nan tentram. Asli deh, suasananya damaiiii banget. Deserved banget lah dengan perjuangan kami berjalan menuju kampung ini. Kemudian masing-masing dari kami yang berjumlah 10 orang saling mengeksplor keadaan Kampung Gir Pasang ini.

Di sepanjang jalan setapak, bunga mawar tumbuh dengan indahnya, menghiasi kampung yang tentram. Gunung Merapi dengan gagahnya berdiri tak jauh dari Kampung Gir Pasang, sekitar kurang lebih 4 km jaraknya. Matahari saat itu cukup terik, tapi udara terasa sejuk karena letak kampung ini yang cukup tinggi di daerah perbukitan.

Perkampungan Gir Pasang, suasananya masih asri banget
Konon, hanya terdapat 7 rumah di Kampung Gir Pasang ini. Kondisi ini sudah berawal dari generasi pertama sampai generasi sekarang yang tetap menjaga tradisi. Sungguh kearifan lokal yang unik. Gue yang termasuk kepo, terus menyisir setiap jengkal kampung ini.

Yang jadi perhatian gue adalah, terdapat solar panel di setiap atap rumah! Wow keren. Berarti emang di kampung ini gak dapet aliran listrik dong, ya. Lagi asyik-asyiknya gue jalan, ternyata gue melihat salah satu warga di rumah paling pojok. Gue kaget sumpah, awalnya gue pikir itu adalah sesosok mahluk astral.

Gue makin kepo, terus gue hampiri bapak tersebut, yang sudah terlihat tua. “Nyuwun sewu mbah, kami minta izin untuk melihat-lihat kampung Gir Pasang ini”, sapa gue dengan agak gugup. Kemudian si bapak menjawab, “………”. Yang artinya gue gak paham beliau ngomong apa, beliau ngomong bahasa Jawa halus.

Di lain sisi, gue menghela nafas, ternyata si bapak itu orang beneran hehehe.

Kemudian gue memanggil mas Nuno, bahwa ada salah satu warga yang masih ada di kampung. Mas Nuno lalu menghampiri gue dan segera berbincang dengan si bapak. Si bapak bernama Darmo, biasa dipanggil mbah Darmo. Mbah Darmo ini ternyata ditugaskan untuk menjaga kampung selagi yang lainnya kondangan ke dusun lain.

Pada saat kami sedang asyik mengobrol, teman-teman lainnya menghampiri kami. Mbah Darmo yang sedikit kaget mengetahui jumlah kami ternyata cukup banyak, akhirnya mempersilakan kami untuk masuk ke rumahnya. Kami pun mengiyakan.

Kami disuguhi teh tawar hangat dan pisang ijo hasil kebunnya. Wah baik banget mbah Darmo. Sembari menyantap hidangan yang ada, kami bercengkrama dengannya. Beliau tinggal beserta istri, anak, menantu, dan cucunya di rumah sederhana ini.

Hangatnya obrolan kami saat itu, sehangat teh tawar yang disuguhkan mbah Darmo
Solar panel yang terdapat di atap masing-masing rumah ternyata merupakan bantuan dari Semarang pada tahun 2013. Sebelum adanya solar panel, warga terbiasa menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakar utama untuk menyalakan lampu templok. Kemudian ketika minyak tanah mulai langka, akhirnya datang bantuan solar panel ini. Solar panel ini mampu menghidupkan sekitar 6-9 lampu dalam waktu 12 jam pada malam hari.

Untuk perkebunan, warga Kampung Gir Pasang biasa menanam bebagai buah-buahan dan sayur-sayuran untuk kebutuhan pangan mereka. Mereka juga menumbuhi bunga mawar di setiap sudut dan jalan setapak untuk memperindah kampung. Namun terkadang, kera hutan datang ke perkampungan dan merusak hasil kebun mereka. Jadi untuk menghalau si kera hutan, biasanya ada warga yang memelihara anjing untuk menjaga rumah dan kebun mereka.

Selain anjing, warga juga memelihara sapi, kambing, dan ayam. Biasanya untuk mengempani hewan ternak, warga harus berjalan sekitar 2 jam untuk mencari rumput, atau juga terkadang hewan ternaknya ikut loh! Selain hewan ternak, warga juga sering kali memburu kijang untuk dimakan.

Setelah kami kira cukup untuk mengobrol dengan mbah Darmo, kami berpamitan. Sebelum meninggalkan kampung yang indah ini, kami berdiskusi tentang rencana melaksanakan kegiatan belajar mengajar di kampung ini.

Foto bersama dulu biar afdol
(Foto oleh Indra Yoga)
Dari perjalanan ini, gue mendapatkan banyak pelajaran dan media refleksi diri. Meskipun tempat tinggal mereka terisolasi, itu tak menghambat mereka untuk tetap bersosialisasi dengan dusun/kampung lainnya. Selain itu, mereka bisa mandiri dengan adanya hasil kebun dan ternak milik warga. Juga, mereka bisa memperindah kampung halaman mereka yang menyatu dengan alam. Sifat gotong royong, guyub, rukun juga masih mereka pegang sebagai pedoman hidup mereka.

Tingal lep... Manis euy pisang ijo-nya
(Foto oleh Gita Aprilia)
Setelah diskusi kami selesai, kami beranjak meninggalkan kampung indah ini. Pergi untuk kembali. Kami akan kembali dengan berbagi ilmu dengan anak-anak dan warga Kampung Gir Pasang.
Sampai jumpa lagi, Kampung Gir Pasang dan seisinya...

Note:
Bagi teman-teman yang berniat untuk mengikuti acara volunteering WAU! Project, bisa banget lohhh. Kegiatan utama kami adalah mengajar anak-anak di pedesaan dengan cara yang asyik juga bisa mengeksplor tempat yang kita tuju. Selain kegiatan volunteering belajar mengajar, teman-teman juga bisa berkontribusi nyata dengan berdonasi. Juga, jika ada buku untuk anak-anak yang masih layak dibaca, bisa juga loh disumbangkan ke WAU! Project. Silakan kunjungi website kami di http://www.wauproject.org/.

4 komentar:

  1. Keren banget kondangan naik truk, kayak nya warg aibu kota wajib nyobain hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha iya mas keren lah itu, mana semua warga lagi

      Hapus
  2. Thanks ulasannya gan, keren banget, nyokap gue asli klaten dan gue juga kelahiran klaten, tapi ya kook baru denger ada desa ini diklaten. Dan yang mengejutkan disana cuma dihuni 7 KK, klaten yang gue tau (dusun mbah gue tinggal) itu jalan depan rumah aja udah aspal dari gue bayi, nah ini kook bisa masih terisolasi ya? tapi salut sama kebersamaan warga sekitar. Akhhh kan jadi kangen kampung halaman hahahahha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, kampung ini tuh terisolasi karena letaknya yang dipisah jurang dan bukit. Tapi, kebersamaan antar kampung kompak banget loh. Itu yang gue salutin.

      Hapus